ggslot88

    Release time:2024-10-08 03:54:34    source:buku mimpi 2d tv   

ggslot88,dolantoto88,ggslot88Catatan:Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.comJakarta, CNN Indonesia--

KTT Asean ke- 42 di Labuan Bajo dari 9 -11 Mei 2023 dengan tema Asean Matters: Epicentrum of Growth, bisa dikatakan berjalan dengan sukses. Ketika pelaksanaan KTT, para pemimpin dunia dijamu di salah satu kapal dengan pandangan laut yang indah.

Namun, keindahan pemandangan tersebut menyisakan masih banyak permasalahan keamanan maritim termasuk masih tingginya praktik penangkapan ikan ilegal di Asean.

Pentingnya pemberantasan penangkapan ikan ilegal juga menjadi pembahasan utama dalam pertemuan FAO Agreement on Port State Measures (PSMA) di Bali pada 8 Mei 2023.

Pertemuan tersebut menekankan bahwa Illegal, Unreported and Unregulated(IUU) Fishing menjadi ancaman terhadap konservasi dan keberlanjutan sumber daya dan ekosistem laut di mana terdapat 600 juta orang yang hidupnya tergantung dari sektor tersebut.

Tak hanya itu, praktik penangkapan ikan ilegal meliputi berbagai macam aktivitas kriminal yang saling terkait. Mulai dari awak kapal, praktik penangkapan, alat penangkapan, jenis tangkapan, perdagangan ilegal termasuk (termasuk perdagangan satwa langka, narkoba, dan senjata), penggunaan kapal tidak berizin sampai pada penggelapan pajak.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejauh ini memang terdapat beberapa perbedaan jumlah kerugian dari praktik illegal fishing. Ini tentu disebabkan karena setiap negara memiliki metode pengukuran yang berbeda.

Namun masalahnya, Indonesia memiliki laut yang paling luas sehingga berpotensi kerugiannya akan jauh lebih besar.

Perbedaan pengukuran serta jumlah luas kawasan laut menjadi salah satu penyebab negara-negara Asean belum menemukan titik temu. Meski pada tataran pertemuan, para elite saling menyepakati pemberantasan penangkapan ikan, namun gagal tatkala bersinggungan dengan implementasi di negara masing-masing.

Dan tak hanya itu. Persoalan penangkapan ikan ilegal ternyata juga tak lepas dari masalah lain: perdagangan manusia.

Dari hulu, masalahnya bisa dilihat dimulai dari proses pendaftaran, perekrutan tenaga dan pemberangkatan oleh agen atau biro yang tidak memiliki izin.

Sehingga, awak kapal yang bekerja di kapal ilegal tidak memiliki dokumen pekerja yang berhak untuk mendapatkan perlindungan kerja dari negara di mana ia bekerja. Misalnya, awak kapal dari Indonesia pergi ke luar negeri dengan tujuan wisata kemudian dari negara tersebut naik ke kapal ikan ilegal dan bekerja di perairan internasional.

Hal itu membuat negara hampir tidak memungkinkan melakukan perlindungan. Ini karena tidak memenuhi unsur legalitas dan tidak adanya informasi yang cukup untuk melakukan perlindungan ke awak kapal tersebut.

Perekrutan yang tidak legal, nonprosedural dan jauh dari pengawasan pemerintah juga menyebabkan awak kapal asal RI harus menjadi korban penganiayaan, seperti bekerja yang tidak memenuhi standar kemanusiaan. Mulai dari jam kerja 30 jam nonstop, pembayaran gaji yang tidak layak, kondisi kerja yang tidak manusiawi serta praktik perbudakan.

Bakamla RI melalui unsur patroli  laut KN Pulau Nipah-321, berhasil menangkap Kapal Ikan Asing (KIA) berbendera Vietnam yang sedang melakukan aktivitas penangkapan ikan secara ilegal di perairan Natuna Utara, Sabtu (20/8/2022).Ilustrasi. kapal patroli Bakamla. (Foto: Arsip Humas Bakamla RI)

Rasio korban perdagangan orang di kawasan Asia Timur dan Pasifik diperkirakan mencapai 0,34 korban per 100.000 penduduk pada 2020 sebagaimana tertulis pada Laporan Global Report on Trafficking in Persons 2022, United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC).

Sementara dari hilir yakni penempatan tenaga kerja di negara tertentu, kerapkali pekerja migran bekerja tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan dan jauh dari standar kelayakan dan keamanan.



Dana Gabungan Asean

Asean telah melakukan banyak hal untuk mencegah praktik penangkapan ikan ilegal dan kegiatan kriminal yang juga terkait dengan hal tersebut.

Misalnya saja dari segi pencegahan rantai pasok perdagangan produk ikan yang ilegal, Asean telah membuat panduan pada 2015. Namun demikian, terdapat permasalahan substansial meski komitmen di level elite sudah dilaksanakan. Implementasi di level nasional di masing-masing negara kerap kali gagal untuk dilaksanakan.

Kesepakatan elite secara normatif ini pun terbentur dari kepentingan nasional dari masing-masing negara anggota.

Misalnya saja kapal ikan yang masuk ke wilayah perairan sengketa Indonesia di Natuna pada November 2022 mencapai 172 kapal. Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia menunjukkan bahwa terdapat 789 kapal ikan ilegal yang ditangkap masuk ke perairan Indonesia sepanjang 2015-2021.

Sebagian besar kapal tersebut besar dari Vietnam sebanyak 268 kapal, Malaysia 98, Philipina 74, Thailand 7, China, Panama, Timor Leste dan Taiwan masing-masing 1. Meski terjadi penurunan angka sebesar 24 persen dari tahun 2015-2021, jumlah penurunan ini masih jauh dari optimal.

Oleh karena itu perlu ada tindakan yang konkret termasuk dana gabungan oleh masing-masing negara yang bisa digunakan untuk menyusun rencana kerja khusus untuk menangani praktik illegal fishing.

Dana gabungan ini bisa diatur dan disesuaikan dengan besarnya luas laut dan kebutuhan perikanan masing-masing negara.

Tanpa adanya komitmen secara finansial dan pengembalian tanggung jawab secara mandiri oleh masing-masing negara, maka pemberantasan praktik penangkapan ikan ilegal hanya akan menjadi 'infinite battle'.

(asa/asa)