vtoto 88 login

    Release time:2024-10-08 04:33:46    source:mesingg   

vtoto 88 login,open keep artinya,vtoto 88 loginJakarta, CNN Indonesia--

Fenomena menurunnya porsi kelas menengahdalam menopang perekonomian Indonesia perlu mendapat perhatian pemerintah.

Dalam laporan World Bank bertajuk 'Aspiring Indonesia-Expanding the Middle Class' kelas menengah adalah mereka yang memiliki pengeluaran sebesar Rp1,2 juta hingga Rp6 juta per bulan per kapita.

Sementara, mereka yang memiliki pengeluaran Rp532 ribu hingga Rp1,2 juta per bulan per kapita tergolong sebagai kelompok calon kelas menengah (aspiring middle class/AMF) dan masyarakat dengan pengeluaran Rp354 ribu hingga Rp532 ribu per bulan per kapita masuk dalam kelas rentan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Data kita median kita untuk kelas menengah emang turun mediannya," kata dia di Jakarta, Selasa (30/7).

Menurut Suharso, warisan pola kerja work from home (WFH) saat pandemi covid-19 menjadi salah satu faktor menurunnya kelas menengah. Ia mencontohkan ada anak muda yang memilih jadi freelancer di perusahaan asing karena pekerjaanya bisa dijalankan jarak jauh.

"Nah, mereka (kelas menengah) ini kemudian keluar dari perusahaan-perusahaan konstruksi kita dan sebagainya. Nah, ini kita belum punya data ini," ucap Suharso.

Ia pun mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut jumlah kelas menengah menyusut menjadi di bawah 20 persen. Oleh karena itu, pemerintah pun akan meneliti lebih lanjut terkait ke mana larinya kelas menengah tersebut.

"Itu kami sedang cari ke mana mereka. Jadi, ini nggak teregister saja," katanya.

Lihat Juga :
ANALISISNasib Laju Ekonomi RI Jelang Alih Kekuasaan Jokowi ke Prabowo

Klaim Suharso cukup masuk akal, BPS mencatat jumlah pekerja sektor informal cukup tinggi. Per Februari 2024, 59,17 persen pekerja bekerja di sektor informal, sedangkan 40,83 persen bekerja di sektor formal. Jumlah ini turun tipis dari 2023 yakni 60,12 persen pekerja informal dan 39,88 persen pekerja formal.

Sementara pada 2022, pekerja informal tercatat 59,97 persen dan pekerja formal 40,03 persen. Pada 2021, pekerja informal 59,62 persen dan pekerja formal 40,38 persen.

Suharso lantas menilai kelas menengah tak turun kelas jadi miskin. Pasalnya, ia mengklaim jumlah masyarakat miskin turun meski ia tak merinci berapa penurunannya.

Berdasarkan data BPS, persentase penduduk miskin pada Maret 2024 sebesar 9,03 persen atau 25,22 juta orang. Jumlah ini menurun 0,33 persen poin atau 0,68 juta orang terhadap Maret 2023 dan menurun 0,54 persen poin atau 1,14 juta perseb terhadap September 2022.

Dengan berbagai tantangan ekonomi yang dihadapi, jumlah kelas menengah di Indonesia pun mengalami tren penurunan. Fakta ini sesuai dengan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS yang diolah oleh Bank Mandiri dalam Daily Economic and Market (Juli 2024).

Lihat Juga :
Alarm Bahaya Ekonomi Menyala dari Turun Kasta Kelas Menengah Indonesia

Lihat saja, proporsi kelas menengah pada struktur penduduk Indonesia pada 2023 cuma 17,44 persen. Jumlah ini anjlok dari proporsi pada 2019 yang mencapai 21,45 persen.

Penurunan jumlah kelas menengah ini berbanding terbalik dengan kelompok rentan. Dalam periode yang sama jumlah kelompok rentan malah meningkat. Tercatat jumlah masyarakat rentan naik dari 68,76 persen pada 2019 menjadi 72,75 persen pada 2023.

Alarm Krisis Ekonomi RI Berdering dari Konsumsi Masyarakat

Alarm krisis untuk ekonomi RI tak berasal dari daya beli kelas menengah yang terkikis saja. Tapi dari seluruh lapisan masyarakat.

Gejala itu terlihat dari deflasi yang terjadi selama tiga bulan berturut-turut. BPS mencatat deflasi sebesar 0,18 persen pada Juli 2024 dibandingkan bulan sebelumnya (month to month/mtm). Sedangkan secara tahunan tercatat inflasi 2,13 persen (year on year/yoy).

Lihat Juga :
Maluku - Papua, Wilayah dengan Laju Ekonomi Tertingggi Kuartal II 2024

Deflasi pada Mei tercatat sebesar 0,03 persen (mtm). Kelompok penyumbang deflasi terbesar adalah makanan, minuman, dan tembakau dengan deflasi 0,29 persen dan andil 0,08 persen.

Sementara itu, deflasi Juni tercatat 0,08 persen (mtm). Kelompok pengeluaran penyumbang deflasi bulanan terbesar adalah makanan minuman dan tembakau dengan deflasi sebesar 0,49 persen dan memberikan andil deflasi sebesar 0,14 persen.

Ekonom Senior Indef Didik J Rachbini mengungkapkan dampak deflasi yang terjadi di Indonesia selama tiga bulan berturut-turut tersebut.

Menurut Didik, deflasi kedengarannya menguntungkan bagi konsumen karena harga yang lebih rendah. Tetapi ini bisa menjadi alarm.

Lihat Juga :
Kemenperin Tuding Sri Mulyani Tak Transparan soal 26 Ribu Kontainer

Ia menilai deflasi ini secara umum merupakan gejala konsumen secara luas tidak bisa mengkonsumsi barang dengan wajar atau setidaknya menunda konsumsinya.

"Deflasi kedengarannya menguntungkan bagi konsumen karena harga yang lebih rendah, tetapi ini merupakan fenomena makro ekonomi di mana ekonomi masyarakat sedang tidak berdaya untuk membeli barang-barang kebutuhannya," kata Didik.

Ia menuturkan deflasi yang terjadi sekarang dapat menimbulkan dampak negatif yang luas terhadap perekonomian jika jika pemerintah terlalu percaya diri dengan kebijakan makro dan kebijakan sektor riil saat ini.

Pria yang juga merupakan guru besar Universitas Paramadina itu mengingatkan gejala penurunan konsumsi masyarakat sudah terjadi di depan mata.

Lihat Juga :
Transaksi Kripto Turun ke Rp40,85 T di Juni 2024

Konsumen menunda pembelian untuk mengantisipasi harga yang lebih rendah lagi di masa depan. Sebab, keterbatasan pendapatannya dan banyak yang menganggur.

Tak hanya itu, Didik menyebut dalam aspek peluang pekerjaan, masalah pengangguran lebih berat. Ini tidak bisa diukur secara baik karena fenomena sektor informal sangat banyak.

Menurutnya, bantuan sosial yang sangat besar sebagai jual beli suara politik tidak membantu sama sekali memperbaiki keadaan. Bahkan, mendorong utang semakin besar sebagai beban ekonomi politik yang diwariskan.

Gabungan masalah industri yang berat, pengangguran, dan deflasi karena konsumsi menurun, maka dunia usaha yang dirasakan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) semakin berat.

Lihat Juga :
Cara Pakai QRIS Tap, Tak Perlu Pakai Kamera Ponsel

"Saya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Kadin, melihat tidak banyak alternatif kecuali biaya produksi harus dipangkas, yang pada gilirannya memangkas pekerja," imbuh Didik.

Dalam jangka lebih panjang, bisa terjadi stagnasi atau penurunan upah karena pada keadaan seperti ini pengusaha juga dapat memotong gaji. Secara makro ini selanjutnya mengurangi permintaan secara keseluruhan dalam perekonomian.

Didik pun menilai keadaan ekonomi saat ini akan diwariskan Presiden Jokowi kepada pemerintah selanjutnya.

Ia mengingatkan pemerintah hati-hati terhadap kepala ular resesi bisa menghadang ekonomi Indonesia. Pasalnya, deflasi yang terus-menerus dapat menyebabkan spiral deflasi yang memburuk. Penurunan harga menyebabkan berkurangnya aktivitas ekonomi, yang pada gilirannya menyebabkan harga semakin jatuh.

"Hal ini dapat mengakibatkan resesi yang berkepanjangan. Investasi yang dilakukan dunia usaha tidak akan lebih tinggi, bahkan bisa lebih rendah lagi," tutur Didik.

Pada gilirannya, dunia usaha akan melakukan koreksi perencanaannya dengan menunda atau membatalkan rencana investasi karena ketidakpastian mengenai pendapatan dan keuntungan di masa depan.

"Lupakan mimpi ekonomi tumbuh 8 persen jika masalah konsumsi rendah ini tidak bisa diatasi dengan pengembangan ekonomi di sektor riil, terutama sektor industri," tegas Didik.

Bersambung ke halaman berikutnya...

Belajar dari Chilean Paradox

Ekonom senior Chatib Basri kerap mengingatkan pemerintah untuk memperhatikan kepentingan kelas menengah.

Menurut mantan menteri keuangan (2013-2014) ini, apabila pemerintah luput memperhatikan kepentingan kelas menengah bisa membawa dampak negatif untuk ekonomi negara.

Ia pun menyinggung soal fenomena Chilean Paradox yakni situasi yang terjadi ketika pertumbuhan ekonomi yang tinggi Chili tidak dibarengi dengan perhatian terhadap kepentingan kelas menengah.

Lihat Juga :
Pemerintah Bakal Minta Orang Mampu RI Ikhlas Tak Beli BBM Subsidi

Alhasil, kerusuhan yang hampir berujung revolusi pecah di negara itu pada Oktober 2019 lalu. Sebanyak 23 orang dilaporkan tewas dalam unjuk rasa berujung rusuh itu.

"Saya kira ini isu yang sangat besar, September (2023) lalu saya satu session dengan mantan presiden Chili, Michelle Bachelet. Ia bercerita mengenai yang dia sebut Chilean Paradox. Saya yakin ini gak akan terjadi di Indonesia segera, tapi kita harus hati-hati," kata Chatib dalam acara Seminar Nasional Outlook Perekonomian Indonesia, 22 Desember 2023 lalu.

Ia menuturkan Chili adalah negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Amerika Latin. Negara itu juga berhasil menurunkan tingkat kemiskinan dari 53 persen menjadi 6 persen.

Namun, di saat bersamaan, kebijakan ekonomi pemerintah Chili yang dipimpin Presiden Sebastián Piñera, lebih banyak fokus pada 10 persen masyarakat miskin.

Lihat Juga :
Susun RAPBN, Jokowi Waspadai Ekonomi Dunia Melambat Tahun Depan

Chatib menyebut pemerintah Chili saat itu tak membuat masyarakat kelas menengah puas. Padahal, yang dibutuhkan kelas menengah bukan cuma kebijakan ekonomi, tapi juga fasilitas publik yang baik dan pemerintahan yang bisa dipercaya.

"Mereka (kelas menengah) butuh kualitas pendidikan yang lebih baik, profesional public yang lebih baik,sarana transportasi yang lebih baik. Ini yang kemudian akan menjadi isu politik ekonomi ke depan," ujarnya

Berdasarkan jurnal berjudul "The Fall of Chile" yang diterbitkan CATO Jurnal (2020), antara 2009-2015, orang-orang yang percaya bahwa demokrasi Chili berjalan dengan baik atau sangat baik anjlok dari 26 persen menjadi 10 persen. Sementara, mereka yang percaya bahwa demokrasi berjalan dengan buruk meningkat dari 16 persen menjadi 32 persen.

Dari 2012 hingga 2018, indeks persepsi korupsi negara Amerika Selatan itu juga turun setiap tahun. Selain itu, yang lebih meresahkan lagi, laporan OECD pada 2017 tentang tingkat kepercayaan penduduk Chili terhadap sistem peradilannya.

Lihat Juga :
Kemenko Marves Buka "Dapur' Pembuatan BBM Rendah Sulfur

Chili mendapat skor terakhir di antara semua negara yang disurvei OECD. Survei yang lebih umum pada 2019 menunjukkan bahwa 58 persen warga Chili percaya bahwa lembaga negara korup.

Dalam sebuah studi Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) pada 2017, 34 persen warga Chili yang disurvei menyatakan telah diperlakukan buruk oleh pegawai negeri sipil (PNS). Survei ini menunjukkan masyarakat Chili terutama kelas menengah tidak puas dengan pemerintah.

Kerusuhan pada 2019 pun pecah usai kenaikan tarif transportasi umum khusus pada jam sibuk sebesarUS$1,17 (sekitar Rp16 ribu). Padahal pada Januari lalu ongkos transportasi umum setempat juga sudah dinaikkan.

Pemerintah beralasan mengambil kebijakan itu karena kenaikan harga bahan bakar minyak dan nilai tukar Peso yang melemah.

Lihat Juga :
Anak Buah Luhut Sebut Rp120 T Uang Negara Lenyap Jadi Asap Tiap Tahun

Masyarakat Chile juga mengkritik pemerintah karena lambatnya pertumbuhan ekonomi, dan mendesak untuk mengubah undang-undang tenaga kerja, perpajakan, serta jaminan pensiun.

Dalam demonstrasi yang terjadi sejak 18 Oktober 2019 itu, warga Chili juga menentang kesenjangan sosial dan ekonomi juga lahan politik yang dikuasai keluarga terkaya di sana.

Setelah krisis sosial meletus, Presiden Sebastián Piñera menyampaikan pidato dan meminta maaf kepada rakyat Chili atas ketidakadilan sistem ekonomi negara tersebut. Ia juga mengumumkan bakal peningkatan pengeluaran pemerintah.

Piñera lantas meluncurkan program untuk memperluas manfaat sosial bagi kelas menengah yang disebut Clase Media Protegida (Kelas Menengah yang Dilindungi). Program tersebut mencerminkan filosofi demokrasi sosial yang mengesahkan gagasan bahwa peran pemerintah adalah untuk menjaga kesejahteraan penduduk.

[Gambas:Video CNN]