syair kalong sydney

    Release time:2024-10-08 01:23:40    source:raffi ahmad 888   

syair kalong sydney,data pengeluaran hk 2019 sampai 2022,syair kalong sydneyJakarta, CNN Indonesia--

Negara-negara Liga Arab dan Organisasi Kerja sama Islam (OKI) melakukan pertemuan luar biasa di Riyadh, Arab Saudi, pada Sabtu (11/11) lalu untuk membahas eskalasi konflik di Jalur Gaza, Palestina, yang semakin hari semakin berkecamuk.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang dihadiri para pemimpin negara itu menelurkan komunike yang salah satunya sepakat mengecam agresi Israel di Jalur Gaza, termasuk kejahatan perang dan pembantaian baik di daerah kantong tersebut, Tepi Barat, maupun Yerusalem.

Para pemimpin juga kompak menolak untuk menggambarkan aksi Israel sebagai "pembelaan diri" dan tidak membenarkan apa pun dalih yang dipakai Tel Aviv untuk melancarkan serangan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pilihan Redaksi
  • Iran Usul Embargo Minyak ke Israel, Diabaikan Negara-negara Arab
  • Yordania hingga Saudi Tolak Usul Iran Embargo Minyak ke Israel
  • PM Inggris Sunak Pecat Mendagri Gegara Provokasi Demo Pro-Palestina

Komunike ini sendiri membuahkan 31 putusan bersama untuk merespons kebrutalan Negeri Zionis. Pada intinya, komunike mengecam segala aksi keji dan brutal Israel di Gaza yang menewaskan warga sipil.

Namun demikian, tidak satupun poin menyinggung soal sanksi ekonomi maupun diplomatik terhadap negara bekingan Amerika Serikat itu.

Lantas, apakah hasil KTT ini memiliki peran signifikan untuk menghentikan agresi Israel di Gaza?

Pengamat studi Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Sya'roni Rofii, menilai KTT di Riyadh masih belum mampu menghentikan Israel melancarkan agresinya di Gaza.

Dia menjelaskan pernyataan bersama yang dikeluarkan para pemimpin negara Arab dan Muslim itu "tidak dalam bentuk aksi kolektif untuk menghukum Israel."

Pasalnya, tidak ada sanksi apa pun yang diambil, seperti misalnya ekonomi, untuk mengikat tangan dan kaki Negeri Zionis. Karenanya, kecaman-kecaman yang dilayangkan pun hanya tampak seperti macan kertas saja.

"Sebuah potret yang berbeda dengan negara-negara Barat dan aliansinya yang melakukan tindakan kolektif menghukum Rusia [atas agresinya di Ukraina] secara bersama-sama melalui instrumen ekonomi. Dampaknya lebih terukur," ucap Sya'roni kepada CNNIndonesia.com.

Sya'roni sendiri mengamini bahwa di tubuh organisasi tersebut, masih ada selisih pendapat dalam merespons isu Palestina.

"Terutama Iran yang cenderung strict terkait itu, embargo terhadap AS. Sementara negara Arab seperti Mesir, Saudi, dan Yordania cenderung hati-hati karena masih memiliki ketergantungan pada AS," tutur Sya'roni.

Iran untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Saudi demi menghadiri KTT, usai Maret tahun ini resmi rujuk dengan Negeri Minyak lewat perundingan damai yang dimediasi China.

Iran dan Saudi berdamai setelah tujuh tahun putus hubungan, salah satu pemantiknya karena serangan demonstran di kantor diplomatik Saudi di negara itu.

Dalam KTT ini, Presiden Iran Ebrahim Raisi mengusulkan sejumlah seruan embargo, di antaranya embargo minyak dan barang Israel, sebagai upaya untuk menghentikan agresi di Gaza.

Namun demikian, permintaannya ini ditolak sejumlah negara Arab mulai dari Mesir, Yordania, Uni Emirat Arab, dan Bahrain.

Lihat Juga :
PM Israel Netanyahu Damprat Menteri Gegara 'Ngoceh' soal New Nakba

Mesir menandatangani perjanjian damai dengan Israel pada 1979 usai bersitegang bertahun-tahun karena Perang Arab-Israel 1948. Yordania kemudian menyusul pada 1994, diikuti Sudan, Uni Emirat Arab (UEA), dan Bahrain pada 2020 melalui Abraham Accords.

Jalinan hubungan diplomatik ini kemungkinan membuat negara-negara Arab tak bisa berkutik untuk mengambil langkah konkret, termasuk lewat instrumen ekonomi.

Ini dipertegas oleh analis Saudi, Ali Shihabi, di X (sebelumnya Twitter) yang menyebut "minyak tidak bisa dan tidak akan pernah digunakan sebagai senjata politik."

"Ini adalah sumber kehidupan bagi negara-negara penghasil minyak dan harus dilihat sebagai komoditas yang dapat diandalkan oleh penggunanya," ucapnya, seperti dikutip The National News.

"Setiap upaya untuk melakukan hal sebaliknya hanya akan mempercepat perpindahan konsumen dari minyak," lanjut dia.

Bersambung ke halaman berikutnya...

Menurut pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, langkah boikot terhadap energi ini masih "sangat efektif" untuk menghentikan serangan-serangan Israel.

"Karena kalau tidak, pasti serangan akan terus berlangsung dan Israel tidak mau menghentikan sampai betul-betul bisa menguasai Gaza kembali," ucap Yon kepada CNNIndonesia.com.

Lihat Juga :
Jokowi Sentil Israel di AS usai RS Indonesia Gaza Diserang

Yon sendiri melihat KTT di Riyadh ini lebih menonjolkan aspek solidaritas untuk Palestina. Pertemuan ini menurutnya belum menciptakan langkah konkret untuk memaksa Israel, maupun negara-negara pendukungnya, menghentikan agresi di Gaza.

Meski Iran sudah bersikap berani seperti itu, Yon berpandangan hal itu karena Teheran berkonfrontasi dengan Amerika Serikat dan Israel.

Negara-negara Arab dan Muslim sendiri, menurut dia, tak akan mau mengambil risiko dan lebih memilih "meredam agar tidak terjadi konflik yang meluas."

"[Selain itu], di sini saya lihat juga tidak ada langkah yang efektif dan jelas yang bisa dilakukan oleh KTT OKI ini kecuali kalau kemudian bisa berkomunikasi langsung dengan Biden atau AS dan memberikan tekanan pentingnya peran Amerika untuk menghentikan perang ini," tutur Yon.

Di sisi lain, pengamat politik dan hubungan internasional di Timur Tengah dari LaSalle College Internasional (LCI), Hendra Kurniawan, menilai KTT Liga Arab dan OKI ini merupakan hal positif yang mencerminkan persatuan sikap serta posisi negara-negara Arab dan Muslim.

"Hal ini merupakan kepercayaan, sekaligus tanggung jawab, untuk membuktikan resolusi KTT Arab-OKI memiliki taji bagi banyak kalangan," ucap Hendra kepada CNNIndonesia.com.

Lihat Juga :
Hasil KTT Negara Arab-Muslim soal Israel: Embargo Senjata-Seret ke ICC

"Pesan-pesan yang ada di dalam resolusi ini, menurut hampir semua dari kita, merupakan pesan yang paling keras yang pernah dilakukan oleh OKI sejauh ini. Resolusi tersebut juga menunjukkan kesatuan posisi OKI terhadap situasi Gaza yang sangat memprihatinkan."

Dari 31 putusan komunike, Hendra menyoroti paragraf 11, yaitu pemberian mandat kepada menteri luar negeri Saudi, Yordania, Mesir, Qatar, Turki, Indonesia, hingga Nigeria untuk memulai aksi atas nama OKI dan Liga Arab demi menghentikan perang di Gaza dan memulai proses politik untuk mencapai perdamaian.

Menurutnya, paragraf ini menunjukkan "pengakuan dari OKI terhadap keaktifan atau kontribusi aktif Indonesia dalam terus mencoba menyelesaikan masalah Palestina terutama terakhir-terakhir ini adalah situasi di Gaza."

Lihat Juga :
ANALISISKenapa Negara Arab Tolak Usul Iran Embargo Minyak ke Israel?

Sebagai negara pendukung kemerdekaan Palestina, Indonesia memang kencang menyuarakan kecaman terhadap aksi brutal Israel di Palestina. Suara lantang itu salah satunya dilontarkan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi.

Retno sampai dipuji Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena garang saat membela Palestina di rapat PBB. Jokowi menilai sikap Retno yang mewakili Indonesia itu paling keras di PBB.