erek nanas

    Release time:2024-10-08 04:09:04    source:kingdomtoto login alternatif   

erek nanas,pisang 123 slot login,erek nanasJakarta, CNN Indonesia--

Penceramah kondang Ustaz Abdul Somad (UAS) menjadi perhatian usai mengklaim dideportasi dari Singapura.

Berita UAS ditolak masuk Singapura, mengemuka usai dirinya mengunggah ke media sosial Instagram.

"UAS di ruang 1x2 meter seperti penjara di imigrasi, sebelum dideportasi dari Singapura," tulisnya di Instagram.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setiba di Singapura, keluarga dan sahabatnya diperkenankan masuk. Namun, seorang petugas menarik UAS. Padahal, kata dia, mereka sudah melengkapi seluruh dokumen.

Kementerian Dalam Negeri Singapura lalu angkat suara. Mereka mengatakan UAS dikenal menyebarkan ajaran ekstrimis dan segregasi yang tak bisa diterima di masyarakat multi-ras dan multi agama di Singapura.

"UAS pernah mengatakan bom bunuh diri adalah sah dalam konteks konflik Israel-Palestina, dan dianggap sebagai operasi syahid," jelas pernyataan tersebut.

Lihat Juga :
Rusia Pakai Senjata Laser Terbaru Serang Ukraina, Efeknya Mengerikan

Dia juga membuat komentar yang merendahkan anggota komunitas agama lain, seperti Kristen. UAS mengatakan salib sebagai tempat tinggal jin kafir.

Berkaca dari kasus UAS, mengapa Singapura sensitif akan isu agama hingga etnis?

Menurut pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia Yon Machmudi menilai, Singapura memang sangat ketat dalam urusan pandangan agama yang dianggap berpotensi mengundang polemik baik bagi pendatang maupun penduduk lokal.

"Termasuk juga membatasi potensi isu-isu politik. Dalam hal ini otoritas Singapura melihat sosok UAS berpotensi menimbulkan pro kontra dan polemik," kata Yon saat dihubungi CNNIndonesia.com pada Selasa (17/5).

Ia kemudian berujar, "Nah ini yang coba dihindari Singapura dengan melarang masuk UAS. Ini berkaitan pandangan UAS yang menyinggung masalah etnis pribumi dan non pribumi."

Lihat Juga :
4 Alasan Singapura Tolak Abdul Somad

Yon menduga pemerintah Singapura memperhatikan polemik yang terjadi di Indonesia sehingga memasukkan UAS dalam daftar yang ditolak masuk ke negara itu dengan alasan tertentu.

"Salah satunya tidak ingin ada polemik di kalangan muslim di Singapura," tutur dia.

Sikap Singapura menolak UAS bukan muncul begitu saja. Negara-kota ini memiliki sejarah kelam soal kerusuhan rasial dan etnis pada 1964 dan 1969.

Singapura pernah mengalami kerusuhan besar antar-etnis dan agama, baca di halaman berikutnya...

[Gambas:Video CNN]



Pada 1964 Singapura masih menjadi bagian Malaysia. Kerusuhan itu mulai terjadi pada 21 Juli 1964 yang bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad hingga 7 Agustus. Imbas konflik ini sebanyak 23 orang tewas dan 454 mengalami luka-luka.

Sebetulnya, benih-benih kerusuhan ditaburkan setahun sebelumnya, demikian menurut South Asia Globe.

Saat itu Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO), partai utama etnis Melayu berhasil dikalahkan Partai Aksi Rakyat multietnis Singapura (PAP) selama pemilihan Majelis Legislatif Singapura 1963.

Beranjak dari kekalahan, UMNO menggunakan strategi yang lebih ekstrim untuk menggalang dukungan. Mereka membangkitkan semangat Singapura-Melayu dengan menarik etnis, agama, dan status ekonomi orang-orang marjinal di pulau itu.

Pada awal Juli 1964, sekretaris Jenderal UMNO, Syed Jaffar Albar, pernah menuduh anggota PAP Melayu tak islami, anti-Islam, anti-Melayu, dan pengkhianat.

"Melayu di Singapura telah lama tertindas. Melayu harus bersatu untuk membela kepentingan mereka sendiri," kata anggota PAP, Othman Wok, menirukan pernyataan Syed Jaffar.

Lihat Juga :
Presiden Anggota NATO Kroasia Ngotot Tolak Finlandia-Swedia Gabung

Setelah tuduhan itu, Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew, memutuskan bertemu UMNO. Namun Syed dan agitator UMNO lain melancarkan demonstrasi massa sekitar 12.000 peserta.

Mereka juga membentuk "Komite Aksi" untuk mendorong hak istimewa Melayu. Komite ini kemudian mengedarkan pamflet sehari sebelum kerusuhan 1964.

Pamflet itu berisi rencana orang Tionghoa membunuh orang Melayu. Mereka juga mendesak serangan awal terhadap warga Tionghoa dan menghancurkan pemerintah PAP.

Sentimen itu memuncak saat perayaan Maulid Nabi Muhammad, yang digelar di Padang. Di sini, para pemimpin UMNO membuat pidato emosional yang memobilisasi orang Melayu melawan non-Melayu.

Petugas agama UMNO, Syed Ali Redza, menyerukan kepada orang-orang Melayu Singapura untuk "bersatu dan bangkit" demi "memperjuangkan hak-hak mereka."

Kerusuhan semakin menjadi-jadi saat pengunjuk rasa menyerang seorang polisi Tionghoa yang mencoba mengendalikan kerumunan.

Lihat Juga :
ANALISISRusia vs Ukraina, Bayang-bayang 'Kiamat Nuklir' dan Perang Dunia III

Desas-desus menyebar bahwa polisi lah yang mulai menyerang pengunjuk rasa. Lalu para pengunjuk rasa bereaksi dengan menyerang orang-orang Tionghoa yang lewat atau tempat-tempat bisnis yang terlihat.

Kerusuhan menyebar ke bagian lain Singapura. Orang China membalas dengan menyerang orang Melayu di daerah yang didominasi Tionghoa.

Dampak kerusuhan itu sangat dalam, apalagi menimbulkan korban jiwa, dan menyebabkan kemunduran bagi hubungan etnis di Singapura

Mustahil untuk menghilangkan atau mengatasi ketidakpercayaan yang mendalam yang ditimbulkan konflik itu.

Dampak dari kerusuhan juga memperdalam ketidakpercayaan antara pemerintah federal dan Singapura, yang berujung pemisahan diri negara-kota itu pada 1965.

Kerusuhan Pecah Lagi pada 1969

Empat tahun usai Singapura merdeka, kerusuhan antara etnis Melayu dan Tionghoa pecah. Namun kali ini lebih terkendali, tak menewaskan banyak korban dan tak berlangsung lama.

Lihat Juga :
5 Langkah Standar hingga 'Gila' Kim Jong-un Perangi Covid di Korut

Kerusuhan 1969 berkobar selama sepekan dari 31 Mei hingga 6 Juni di bagian timur dan utara Singapura. Tercatat empat orang tewas dan 80 lainnya terluka.

Tragedi 1969 terjadi imbas insiden 13 Mei di Malaysia. Kerusuhan terjadi antara etnis Melayu dan Tionghoa yang dipicu hasil pemilu di Negeri Jiran. Sebetulnya Singapura tak ada kaitannya, mereka hanya terdampak.

Konflik 13 Mei itu juga disebabkan ketidakpuasan orang Melayu terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan kekhawatiran akan keistimewaan sebagai 'pribumi' akan hilang.

Saat kerusuhan terjadi, PAP mendominasi politik Singapura. Mereka kemudian mengambil langkah untuk menenangkan penduduk desa Melayu dan meyakinankan mereka.

"Pemerintah tak akan membiarkan keadaan menjadi lebih buruk," kata Othman.